“Sebuah
catatan kecil perjalanan hijrahku bersama orang-orang hebat dengan memaknai
setiap kegiatan pembelajaran”
Bismillahirrohmanirrohim. Benar
adanya hari Jumat adalah hari yang penuh keberkahan dan penuh rahmat. Hari itu,
29 Juli 2016 langkah kakiku pertama kali menginjakkan diri di Sekolah Alam
Insan Mulia Surabaya (SAIM) tempat hijrahku saat ini berada. Hari pertama
memasuki babak baru perjalanan hidupku setelah hijrah dari tanah kelahiranku.
Sangat asing dan tidak biasa bagi diriku mengajar ditempat yang dipenuhi aura
semangat, penuh inspirasi, dan bernuansa Islami. Kebingungan menyelimuti
hari-hari awalku di sekolah ini, banyak hal yang harus aku pelajari di sini,
pikirku sekolah ini sama saja seperti sekolah-sekolah yang lain yang pernah aku
kunjungi, mengajar dan bekerja di sana. Rasa kesombongan yang tinggi tertancap
di pikiran seraya terucap dalam kata “Aku
pasti bisa mengajar dengan hebat dan bagus disekolah ini, karena pengalamanku
di dunia pendidikan sudah banyak, 2007 aku sudah menjadi guru, lantas apa yang
aku takutkan, hanya mengajar seperti biasa khan!”.
Ternyata tidak begitu adanya, pengalamank
sangatlah kurang, masih banyak dan lebih banyak lagi yang harus dipelajari di
sini.
”Selamat
bergabung Ustadz, di keluarga besar Sekolah Alam Insan Mulia.” Ucap
Ustadz Agus seraya bersalaman dengan sangat eratnya yang mana saat itu beliau
sebagai HRD SAIM.
“Maaf
Pak Agus, Ustadz?!. Saya bukan ustadz, cukup panggil nama saya saja, tanpa
sebutan ustadz.” Jawabku dengan
tercengang, aneh, dan penuh rasa heran.
“Ya
Ustadz!. Dibiasakan ya nanti disini memanggil dengan sebutan ustadz dan
ustadzah”. Jawabnya dengan senyum simpul di
wajahnya.
Oh
my god! untuk pertama kalinya saya dipanggil
dengan gelar yang luar biasa istimewa dan mempunyai tanggung jawab yang sangat
berat untuk dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.
Tidak
berhenti kejutan itu datang bertubi-tubi. Kejutan itu diluar apa yang
dipikirkan dan diperkirakan. Sebuah pengalaman dan pembelajaran yang luar bisa
hebatnya. Saat shalat jumat, saya terheran-heran melihat khatib yang bertindak
mengisi khutbah saat itu. Ini yang jadi khatib kenapa masih anak-anak, dia
masih siswa sekolah menengah atas, kenapa ditunjuk menjadi khatib? Ini
seriuskah? Pikirku bertanya-tanya dengan penuh kebingungan, lantas aku bertanya
kepada ustadz Agus. “Ustadz Agus, yang
jadi khatib kok anak SMA bukannya gurunya atau salah satu ustadz yang ada?!”
Seperti biasa dengan ekspresi
senyum simpulnya beliau menjawab, “Inilah
pembelajaran sesungguhnya, semua kegiatan dikemas sedemikian rupa agar menjadi
sebuah bentuk pembelajaran sekaligus pengalaman yang berkesan bagi mereka. Jadi
siap-siap saja Ustadz Redy yang akan menjadi khatib di jumat-jumat yang akan
datang.”
Mendengar jawaban itu dahiku
langsung mengkerut, alisku menyambung jadi satu dan berpikir keras. Apa yang
harus aku lakukan kelak jika nantinya menjadi khatib shalat Jumat?!.
SAIM
sebagai lembaga pendidikan yang melahirkan generasi dan pemimpin muslim
berkarakter mulia berkualitas dunia memang benar adanya. Bukan muridnya saja
yang dicetak sebagai generasi dan pemimpin muslim yang berkarakter, tapi
walimurid bahkan hingga ke gurunya juga dicetak yang sama. Itu yang saya
rasakan selama dua tahun berada di sini. Banyak bukti yang dirasakan di sekolah
yang memiliki lingkungan yang bersih dan Asri. Guru dengan murid, guru dengan
guru, murid dengan murid, guru dengan walimurid saling bertegur sapa, senyum,
dan mengucapkan salam. Terciptanya suasana yang harmonis dan penuh
persaudaraan.
“Assalamu’alaikum,
Ustadz!” seorang muridku laki-laki yang duduk di
kelas 3 menyapaku dengan penuh gembira dan senyum yang lebar diwajanya pagi
itu.
“Wa’alaikumsalam,
anak hebat!. Bagaimana kabarmu setelah pulang dari perjalanan umrohmu?” tanyaku
kepadanya sambil membalas ajakan tangannya bersalaman dengan mencium tanganku.
“Alhamdulillah
Us, lancar. Aku senang selama berada di sana Us. Aku bisa melihat ka’bah yang
sangat besar.” Jawabnya sambil terus menceritakan pengalaman
perjalanannya selama umroh.
“Us!,
pas aku di mekkah aku mendoakan Ustadz lho!” celetuknya
diakhir pembicaraan kami. Sontak saja saya tertegun dan speechless dengan perkataannya. Subhanallah
nak! Sungguh mulia hatimu, engkau
telah mendoakan gurumu dengan tulus, karaktermu sudah benar-benar terbentuk
untuk menjadi pribadi yang hebat.
“Emang
kamu berdoa apa untuk ustadz disana?!” tanyaku
mengejar celetuknya yang barusan.
“Ya…
rahasia donk Us!” jawabnya seraya dia
berlari dariku mengejar temannya untuk melakukan kegiatan warming up.
Ya Allah, satu lagi kejutan yang
Engkau berikan kepadaku dari orang-orang hebat disekitarku saat ini. Yang
menjadi pertanyaanku saat itu, bagaimana sekolah ini membentuk karakter hebat
seperti anak itu. Rasa penasaran ini semakin menjadi-jadi.
Kebiasaan
yang menurut orang lain mungkin biasa saja dan hanya bernilai receh. Tapi
menurutku tidak, kebiasaan yang sederhana ini-lah yang membuatku takjub berada
di SAIM. Suatu kegiatan pembelajaran yang sudah menjadi kebiasaan ini yang nantinya
akan mencetak karakter hebat anak tersebut. Banyak kegiatan pembelajaran yang
dibalut dengan berbagai kegiatan bermanfaat yang berlangsung. Saat itu saya
diberi kesempatan untuk mendampingi kegiatan homestay, suatu pembelajaran yang sarat makna dan nilai-nilai
berkarakter mulia. Kegiatan pembelajaran tersebut merupakan kegiatan rutin yang
dilaksanakan setiap tahun di jenjang kelas VI. Homestay merupakan pengalaman kegiatan pembelajaran yang sangat
baru bagiku selama 10 tahun aku mengajar dari satu tempat ke tempat yang lain. Homestay bukan hanya sekedar kegiatan
pembelajaran, tapi ini juga merupakan sebagai wujud syukur kita kepada Allah
SWT yang telah memberikan segala kenikmatan kepada kita, berbagi dengan sesama,
dan memaknai setiap langkah perjalanan hidup. Anak-anak dititipkan selama tiga
hari berkegiatan bersama orang tua asuh mereka di sana. Banyak pelajaran hidup
yang diperoleh dari pembelajaran ini, anak-anak dilatih untuk mandiri, hidup
sederhana, saling tolong-menolong, memecahkan masalah secara mandiri yang
mereka hadapi, dan berbagi dengan sesama. Bukan hanya siswanya saja, tapi saya
juga sebagai guru pendampingnya banyak belajar dan memaknai dari kegiatan
pembelajaran ini. Matahari pagi masih bersembunyi dibalik peraduannya, tapi
sorak sorai anak-anak terdengar sangat riuh disepanjang jalan raya Desa Claket,
Pacet, Mojokerto. Mereka bergegas bersama shalat Subuh bersama orang tua asuh
mereka di Masjid Desa, setelah itu langsung beraktifitas bersama.
”Ustadz!,
ayo ikut kami jual bunga hasil panen kemaren ke Pasar”. Teriak
semangat mereka di atas pic-up memecah
keheningan fajar.
“Ustadz!,
ikut aku aja ke ladang di kaki bukit, kita mau memanen sayuran dan buah-buahan.
Lebih seru ikut aku ustadz!”. Sahut seorang
anak dari kelompok menghampiriku.
Jadi bingung mau ikut yang mana,
kedua kegiatan itu sama serunya.
”Baiklah,
ustadz memilih ikut pergi ke ladang di kaki bukit, karena ustadz lihat
kendaraan pic-up-nya sudah penuh dengan tumpukan-tumpukan bunga yang indah.
Kasihan nanti kalau kena injak kaki.” Jawabku menengahi ajakan mereka.
“Oke
Us!. Aku berangkat dulu ya, keburu siang, ntar bunganya layu dan gak laku
dijual.” Dengan senyum kegembiraan diraut
wajahnya bertanda mereka menikmati proses pembelajaran ini.
Banyak
manfaat yang diperoleh dari setiap kegiatan pembelajaran di SAIM. Pendidikan
karakter terbentuk sesuai dengan alam usianya. Yang terpenting dari segala
bentuk kegiatan pembelajaran adalah pemaknaan pembelajaran itu sendiri.
Anak-anak bersama kita sebagai pengajar selalu mengajak mereka untuk memaknai
setiap proses yang berjalan selangkah demi selangkah. Menjawab rasa ingin tahu
mereka, ikut merasakan apa yang mereka rasakan, dan turut hadir mendampingi
mereka saat proses pembelajaran adalah kunci dari segala aktivitas yang akan membekas
di benak pikiran dan hati sebagai pengalaman yang tidak akan terlupakan serta
bermanfaat untuk kehidupannya kelak. Perjalanan hijrahku akan tetap bersama
orang-orang hebat disekitarku.
Dan masih banyak cerita-cerita yang lebih menarik mewarnai keseharianku di SAIM.